Rasa kantuk setelah semalaman melewatkan satu siklus tidur membuat saya terlelap dalam penerbangan selama sekitar satu jam itu. Mata saya perlahan mulai terbuka ketika saya mulai mendengar bunyi tanda akan mengudaranya suara pramugari di kabin pesawat, “Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandara Sultan Thaha Syaifuddin Jambi. Tidak ada perbedaan waktu antara Jambi dan Jakarta.” Mendengar itu saya mulai menegakkan sandaran kursi saya, memaksa mata saya yang masih mengantuk untuk terbuka sambil menatap daratan yang mulai terlihat dari balik jendela pesawat.

Pijakan kaki pertama saya di Bumi Andalas setelah sekian lama disambut dengan langit biru Jambi yang cerah. Ini mungkin bukan perjalanan jauh pertama saya, bukan juga pertama kalinya saya akan menemui wajah-wajah yang belum dikenal sebelumnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Namun perjalanan kali ini memberikan ketegangan tersendiri bagi saya. Bukan karena cemas atau takut, tapi rasa tegang ini karena saya yakin perjalanan kali ini akan luar biasa menyenangkan.

Saat baru turun dari pesawat di bandara Jambi

Setelah mengambil barang-barang saya dari bagasi pesawat, saya melangkah keluar bandara. Saya melihat seorang laki-laki berkaos AC Milan putih sudah berdiri menunggu, saya pun melambaikan tangan dan tersenyum lalu kemudian menjabat tangannya yang telah lebih dulu terulur. Dia pun langsung mengajak beranjak menuju mobil sambil membantu membawakan sebagian barang bawaan saya. Setelah menaruh barang saya di bagian belakang mobil 4WD itu saya pun duduk di kursi depan. Mobil mulai melaju meninggalkan bandara, saya mulai berceloteh dan menanyakan ini itu dan disambut ramah olehnya.

Mas Ragil namanya. Saya belum pernah kenal dengan dia sebelumnya, hanya saling menyahut melalui pesan singkat setelah dia memberitahu bahwa dia yang akan menjemput saya di bandara. Namun rasanya kami sudah bisa berbincang cukup banyak, terlebih ini pengalaman pertama saya bertemu orang yang bergerak langsung di dunia konservasi, sehingga saya sangat bersemangat melontarkan banyak pertanyaan dan tanggapan. Perjalanan ternyata cukup lama, setelah kehabisan kata-kata kami hanya diam. Saya menikmati jalanan Kota Jambi yang belum pernah saya lihat sebelumnya sambil diiringi musik dari Jogja HipHop Foundation yang mengalun di dalam mobil.

45 menit kemudian akhirnya kami sampai, saya turun dari mobil sambil memperhatikan sekitar. Sambil berjalan masuk ke dalam, saya melihat sekilas dua hartop cokelat dan beberapa mobil 4WD lainnya berjejer di halaman, dan papan besar berwarna hijau dengan wajah besar gorilla bertuliskan Frankfurt Zoological Society bertengger di dinding luar. Di dalam saya langsung bertemu dengan manajer keuangan, disodorkan beberapa lembar kertas, “Baca dulu saja ya.” Ujarnya ramah sambil meninggalkan saya sendirian di ruangan besar seperti ruang pertemuan. Saya hanya tersenyum kemudian menyandarkan tubuh saya di kursi rotan yang sudah dari tadi saya duduki, melihat halaman belakang yang terpampang dari jendela ruangan yang lebar, lalu mengangkat kertas-kertas yang disodorkan pada saya dan mulai membacanya perlahan.

Tampilan logo FZS yang terlihat di dinding

Kontrak Kerja Volunteer. Tiga kata itu yang berada di paling atas kertas, dengan tulisan yang dicetak lebih tebal dan lebih besar dibandingkan tulisan-tulisan dibawahnya. Setelah membaca seluruh isi kertas itu saya pun menandatanganinya, pertanda saya sepakat untuk bekerja secara sukarela untuk tiga bulan kedepan sebagai Community Affairs Officer di Elephant Conservation and Conflict Mitigation Unit yang berada dibawah naungan Frankfurt Zoological Society, sebuah organisasi nirlaba dari Jerman yang bergerak di bidang konservasi satwa liar, khususnya Orangutan Sumatera dan Gajah Sumatera di Indonesia. Saya sangat menyukai isu lingkungan, saya juga senang menjadi relawan. Perjalanan? Lebih dari suka, saya ketagihan dengan perjalanan dan rutinitas sebagai seorang pejalan. Semua hal yang saya suka bersatu disini, bersatu dalam kesempatan yang membuat saya bisa terjun langsung di dunia konservasi satwa liar. Inilah yang membuat saya degdegan di awal perjalanan, karena semua hal yang dapat meningkatkan gairah saya berada dalam satu jalur yang telah membawa saya kemari. I am extremely excited for this rare experience!

Ruang meeting kantor FZS Jambi

Kontrak kerja sudah dikembalikan ke pihak kantor, lalu saya menyantap makan siang saya ditemani teman lama yang ternyata telah bekerja beberapa bulan di NGO ini. Terkadang saya berpikir bahwa perjalanan itu lucu, perjalanan bisa membawa kita bertemu dengan orang-orang baru yang menyenangkan atau bahkan mempertemukan kita dengan orang yang telah lama kita kenal secara tidak terduga. Selesai makan saya kembali melanjutkan perjalanan saya, karena areal kerja saya berada bersama tim Wildlife Protection Unit di lanskap Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang berada di Kabupaten Tebo, sekitar 4-5 jam perjalanan dari Kota Jambi.

Tiga bulan bukan waktu yang terlalu panjang namun juga bukan waktu yang singkat untuk dilalui. Banyak hal yang saya lalui selama disini, banyak pembelajaran dan pengalaman baru yang berharga yang saya dapatkan. Awalnya saya berfikir sempit, bahwa menjadi relawan untuk konservasi Gajah Sumatera berarti saya harus mengurus gajah, memberinya makan, memandikannya, membersihkan kotorannya dan lain sebagainya. Pikiran saya memang terlalu terpatok dengan gajah-gajah yang ada di Way Kambas, Lampung. Tapi saya salah besar! Malah saya harus menahan diri untuk tidak bertemu langsung dengan para gajah yang ada di TNBT ini, karena gajah-gajah disini adalah gajah liar, mereka tidak terbiasa bertemu dengan manusia. Berbeda dengan gajah-gajah di Way Kambas yang telah dijinakkan dan dilatih di pusat pelatihan gajah sebelumnya. Kalau disini, alih-alih ingin bermain dengan gajah, bisa jadi nyawa kita malah melayang.

Gajah Sumatera yang ada di Provinsi Jambi ini hanya bersisa sekitar kurang lebih 150 ekor lagi, berdasarkan penelitian terhadap DNA gajah di tahun 2012. Gajah Sumatera termasuk hewan yang dilindungi karena jumlahnya yang sudah terancam punah dan rentan diburu gadingnya. Sayangnya wilayah TNBT yang dilindungi memiliki kontur berbukit-bukit yang tidak bisa ditinggali gajah,sehingga gajah hanya bisa hidup di dataran rendah diluar koridor taman nasional, areal ini tidak dilindungi karena sudah berada diluar kawasan taman nasional sehingga mengancam keberlangsungan hidup gajah. Kenapa mengancam? Hutan yang menjadi abitat gajah dan satwa liar lainnya adalah hutan, sedangkan hutan disini telah banyak yang dialihfungsikan menjadi mayoritas perkebunan sawit. Selain kehilangan rumah, gajah-gajah ini juga kehilangan sumber makanannya yang merupakan tumbuhan-tumbuhan besar yang ada di hutan.

Diantara kebun sawit dan asap pembakaran sawit

Permasalahan utama dalam penyelamatan Gajah Sumatera di TNBT ini bukanlah hanya rumah gajah yang banyak menghilang, tapi juga Konflik Manusia Gajah (KMG). KMG terjadi karena hutan sebagai habitat dan sumber makanan gajah menghilang dan berganti menjadi perkebunan sawit. Gajah juga sama seperti manusia, butuh makan untuk bertahan hidup, sehingga gajah yang terdesak ini terpaksa masuk ke perkebunan sawit untuk mencari makan, walaupun mereka tau mereka tidak suka tanaman sawit, tapi karena tidak ada pilihan lain gajah-gajah ini pun akhirnya memakan sawit untuk bertahan hidup. Perilaku gajah yang makan sawit untuk bertahan hidup ini sangat tidak disukai oleh masyarakat pemilik kebun, mereka menganggap gajah-gajah yang terancam punah ini sebagai hama. Tidak sedikit yang mengambil jalan pintas dengan membunuh gajah dengan meracunnya atau menembaknya. Jika mereka mendapati gajah jantan, maka masyarakat akan sekaligus mengambil gadingnya, karena Gajah Sumatera yang memiliki gading hanya gajah jantan. Tingginya KMG ini juga tidak hanya mengancam keberlangsungan hidup gajah, tapi juga keberlangsungan hidup manusia. Tidak sedikit kasus KMG yang menimbulkan kematian manusia.

Saat berkampanye di Pameran HUT Kabupaten Tebo

Dengan konflik yang sangat tinggi itu, FZS berusaha untuk meminimalisir konflik yang terjadi dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan Early Warning System (EWS). EWS ini merupakan sistem peringatan untuk memberitahu para pemilik kebun atau masyarakat bahwa gajah datang mendekat, sehingga masyarakat bisa bersiap. Persiapan menghadapi kedatangan gajah ini juga biasanya didampingi oleh tim lapangan FZS yang selalu melakukan penyuluhan berkala kepada masyarakat. Banyak cara untuk mengusir gajah yang masuk ke areal perkebunan, cara yang paling sring digunakan adalah dengan meriam karbit, meriam ini tidak ditembakkan ke tubuh gajah, melainkan ditembakkan ke udara. Gajah takut pada suara keras yang tidak dikenalnya, sehingga dia akan mengurungkan niatnya untuk memasuki kebun. Lalu bagaimana kita bisa tahu dimana posisi gajah? Itulah yang menjadi salah satu tugas saya, saya memantau posisi gajah dengan mengambil koordinatnya dari GPS yang terpasang di leher gajah, lalu memberi peringatan kepada masyarakat jika memang gajah terlihat mendekati perkebunan.


Saya juga ikut melakukan penyuluhan ke masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan bersama tim lapangan FZS. Ini juga yang menjadi salah satu pengalaman menarik saya disini, berkat menjadi volunteer disini saya bisa setiap hari mengendarai motor trail. Kondisi jalan yang masih buruk membuat perjalanan masuk ke lapangan menjadi seperti sedang offroad, sehingga melengkapi pengalaman saya menjadi semakin penuh petualangan. Sangat menyenangkan sekali bukan melakukan hal-hal yang sangat kita suka sambil bisa bermanfaat untuk alam dan sekitarnya?

Partner berkendara selama di Tebo

Ada satu pengalaman masuk ke lapangan yang paling seru. Waktu itu kami masuk ke lapangan bersama Tim Alpha yang akan memasang camera trap untuk memantau pergerakan satwa liar di dalam tamannasional, sehingga saya tidak perlu mengendarai motor trail sendiri, kami semua diantar dengan menggunakan hartop. Ada satu sungai yang harus disebrangi jika ingin mencapai Stasiun Orangutan di dalam hutan. Namun cuaca sedang tidak baik saat itu, curah hujan sangat tinggi, sehingga sungai meluap dan mobil tidak bisa lewat. Posisi sungai tersebut pun sudah cukup masuk didalam hutan, kembali lagi ke mess pun terlalu jauh, lalu kami memutuskan untuk bermalam dipinggir sungai, berharap besok air sungai sudah surut. Tapi ternyata air sungai tidak kunjung surut, sehingga kami harus menunggu semalam lagi. Sambil menunggu kami memancing di sungai, ikannya lalu kami masak dengan tempoyak yang merupakan makanan khas Jambi. Tempoyak adalah fermentasi durian, memang tidak semua orang suka karena rasanya yang aneh, tapi menurut saya rasanya sangat unik. Tempoyak ikan sangat nikmat disantap saat hujan, rasanya yang asam pedas dan kuahnya yang hangat sangat mantap untuk dijadikan peghangat tubuh. Sambil menunggu juga kami sempat dihampiri oleh Suku Anak Dalam yang meminta bahan makanan. Sungguh sangat tidak terduga! Suku Anak Dalam yang pertama kali saya lihat di film Sokola Rimbanya Butet Manurung saat ini saya lihat langsung di depan mata saya. Memang kondisinya berbeda dengan yang digambarkan di Sokola Rimba, tapi ini menjadi pertemuan yang tidak terlupakan bagi saya, bisa bertemu dengan suku adat yang tinggalnya nomaden di dalam hutan saat saya sedang bervolunteering. Setelah dua malam menunggu, akhirnya sungai surut juga dan bisa dilalui dengan mobil. Namun karena jalanan sangat buruk dan juga licin karena hujan, mobil pun seringkali tersangkut, hingga kami harus turun dan membantu memasangkan sling untuk bisa mengeluarkan mobil yang stuck di lumpur. Perjalanan ke lapangan memang sangat seru, bisa dibilang ini menjadi pengalaman offroading saya yang paling menyenangkan.


Ada juga satu kondisi dimana emosi saya sangat tidak stabil. Saat tim patroli menemukan dua mayat gajah tak berkepala di tengah perkebunan sawit dengan selongsong peluru menancap di tubuh gajah. Setelah dilakukan penyelidikan, diduga gajah ditembak dari jarak jauh, setelah gajah lumpuh kepalanya dipotong dengan gergaji mesin agar lebih mudah diambil gadingnya. GILA! SUNGGUH TEGA! Saya tidak mengerti bagaimana bisa ada manusia yang sejahat itu hanya untuk seonggok uang! Iya, gading memang harganya sangat mahal. Tapi apa sih manfaatnya? Tidak ada! Untuk jimat? Untuk pengobatan? Memang benar ada pengaruhnya? Tidak ada! itu hanyalah kepercayaan tanpa fakta ilmiah. Kejadian itu membuat saya sangat sakit kepala. Rasanya sangat campur aduk antara sedih, marah, kecewa, geram, ingin berbuat sesuatu tapi kapasitas saya masih sangat terbatas.

Banyaknya pengalaman menarik saat menjadi volunteer disini mungkin tidak dapat saya ceritakan dalam satu tulisan. Satu yang pasti, menjadi volunteer sambil traveling sangat membuat saya merasa sangat bahagia dan membuat saya belajar banyak hal. Tidak hanya dapat menjadi diri saya yang terbaik, mendapatkan banyak pengalaman menarik, dan mengunjungi tempat-tempat baru yang indah dengan melakukan perjalanan, tapi juga bisa melakukan aksi lebih dan kegiatan positif yang sangat bermanfaat bagi alam, lingkungan dan masyarakat sekitar. Bervoluntourism tidak hanya sekedar menyenangkan, tapi jga membuat saya ketagihan! Berani coba?

Salam dari belalai Si Turis Relawan! :)